Cek Akreditasi Kampus Dengan Cara Mudah Ini!
Juni 14, 2022UMN Membuka Pendaftaran Secara Online Untuk Mahasiswa Baru Tahun 2023
Juni 14, 2022TANGERANG – Dengan maraknya kasus kekerasan seksual di kampus, Universitas Multimedia Nusantara (UMN) mengadakan workshop “Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual” pada Rabu, (08/06/22) hingga Kamis, (09/06/22). Workshop ini sebagai inisiatif UMN untuk mengajak dan mendorong kampus lainnya, terutama di lingkungan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah 3 untuk lawan kekerasan seksual dan mendukung penyintas. Pelatihan ini didukung penuh oleh Rektorat UMN, LLDIKTI 3, dan juga Dirijen Kemendikbudristek.
“Mengenai topik yang menjadi bahasan kita pagi ini, saya ingin mengambil hikmah pepatah lama. ‘Lebih baik kita menangkap tikus atau anak macan selagi masih kecil sebelum dia menjadi besar dan buas.’ Masalah kekerasan seksual lebih baik kita tangani semenjak dini. Semoga kita bisa membebaskan kampus dari praktek dan tindakan kekerasan seksual. Ohm Shanti Shanti Om,” ucap Dr. Ninok Leksono, selaku Rektor UMN dalam sambutannya.
Lebih dari 200 peserta dari berbagai universitas hadir untuk mengikuti acara ini. Camelia Catharina, ketua tim Satgas PPKS UMN, mengapresiasikan kehadiran semua peserta, “antusiasme ini Bapak/Ibu menunjukkan kesadaran dari kita semua dari lingkungan perguruan tinggi terhadap permasalahan kekerasan seksual yang mungkin ada di berbagai kampus; dan kesadaran juga untuk secara aktif menangani kasus-kasus ini.”
UMN mendirikan Satgas PPKS di awal tahun 2022, diinisiasi oleh bagian kemahasiswaan UMN, Ibu Ika Yanwarti sebagai respons terhadap Permendikbudristek no 30 tahun 2021. Tim Satgas PPKS terdiri dari 10 orang terdiri dari dosen, medic, mahasiswa dan dibagi menjadi tiga divisi: Pencegahan, Pelaporan, dan Pendampingan.
“Semua aset-aset yang dibahas disini rasanya diperlukan oleh Satgas PPKS baik di UMN atau di kampus lainnya agar bisa memberikan dukugan dan dampingan maksimal untuk penyintas kekerasan seksual di kampus,” ucap Camelia. Acara ini diharapkan dapat membuka diskusi yang bermanfaat dimana sesama kampus dapat berbagi dan saling melengkapi dalam hal sistem PPKS di kampus.
Workshop ini akan membahas mengenai kekerasan seksual secara lengkap. Maupun dari sisi psikologi dan dari sisi hukum. Pelatihan ini mengundang empat pembicara utama: Yosephine Dian Indraswari, Direktur Eksekutif Yayasan Pulih; Siti Mazumah, Direktur LBH Apik Jakarta; Dr. Ir. Paristiyani Nurwardani, Kepala LLDikti Wilayah III; dan Dr. Chatarina Muliana, Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Penanganan Psikologis Kasus Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
Workshop bagian pertama membahas mengenai sisi psikologis dari kasus kekerasan seksual di pergutuan tinggi. Materi diskusi ini dipaparkan oleh Dian, Direktur Eksekutif Yayasan Pulih. Yayasan Pulih adalah lembaga non-profit yang berbasis masyarakat didirikan untuk menjawab keperluan akan layanan psikologis yang terjangkau.
Sebelum memasuki penjelasan, banyak orang menggunakan kata “penyintas” untuk melabelkan korban kekerasan seksual, terutama bagi sektor yang memberikan pelayanan dukungan psikologis seperti Yayasan Pulih. Penyintas digunakan karena kata tersebut mengandur unsur kekuatan untuk bertahan, bangkit kembali dan dapat mengatasi masalah secara efektif, atau disebut juga sebagai resiliensi.
Victim Blaming
Dalam kasus kekerasan seksual mau itu di Indonesia ataupun luar negeri, masalah yang dihadapi kebanyakan penyintas adalah “Victim Blaming.” Dalam kasus kriminal, sang kriminallah yang disalahkan. Tetapi sering kali dalam kasus kekerasan seksual, sang penyintaslah yang cenderung disalahkan. “Ini terjadi karena kita besar dalam masyarakat partriarki yang menekankan perempuan sebagai seseorang dengan fungsi yang domestik,” jelas Dian.
Semua orang bisa melakukan blaming, bahkan orang-orang yang seharusnya melindungi penyintas seperti keluarga, teman terdekat, profesor, media, oknum dalam proses hukum, dan bahkan satgas PPKS bisa melakukan victim blaming. Sangat diperlukan masyarakat untuk menghilangkan bias dan stop victim blaming.
Contoh victim blaming seperti, “kenapa kamu mau ketemuan berdua?” “kenapa kamu tidak coba kabur?” “mungkin kamu yang mulai?” “kamu pakai baju apa?. Yang lebih parahnya lagi, bahkan ada orang yang menyepelekan pengalaman penyintas dan mengatakan bahwa pengalaman traumatisnya biasa saja. “Kan cuman dipegang, kan cuman dicium.” Isu kekerasan seksual masih dianggap sepele hingga saat ini dengan banyaknya orang dengan mentalitas bahwa aksi non-konsentual itu normal dan biasa saja.
Dian menekankan bahwa dampak kekerasan seksual pada penyintas bervariasi. Tidak semua penyintas akan memiliki reaksi yang sama. Karena ini, pemikiran dan pertanyaan seperti “kenapa kamu tidak kabur?” atau “kenapa kamu tidak berteriak atau menangis?” perlu dibuang.
“Penyintas cenderung merasa jijik dan bahkan menyalahkan dirinya. Pengalaman freezing itu umum dimana mereka akhirnya terdiam dan tidak bisa bergerak karena syok dan trauma saat mengalami kekerasan seksual,” ucap Dian.
Psychological First Aid
Dian menyarankan perguruan tinggi untuk menerapkan yang namanya “Psychological First Aid” (PFA). PFA merupakan tanggapan pertama. Aksi yang dilakukan segera setelah terjadi atau terungkapnya suatu peristiwa bertujuan untuk mengurangi dampak negatif stres dan mencegah timbulnya gangguan kesehatan mental yang lebih buruk. PFA bukanlah sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh para profesional. Semua orang dengan pelatihan yang cukup bisa melakukan PFA.
“Penting untuk diingat bahwa tidak semua orang menginginkan PFA. Jangan memaksakan bantuan tetapi jadilah terbuka dan tempat yang aman bagi mereka yang mengiginkan PFA,” jelas Dian.
- Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan saat melakukan PFA:
Sebelum memberikan PFA, periksa keamanan dan kondisi fisik penyintas. Segera memberi bantuan darurat jika dibutuhkan. - Berikan di tempat yang aman bagi pendamping dan penyintas. Idealnya tempat dimana pendamping dan penyintas bisa memiliki privasi.
- Sediakan bantuan praktis seperti air minum, tisu, dan lain-lain.
- Jika penyintas meminta, PFA bisa dilakukan melalui jarak jauh. Pendamping tetap dapat berempati, menunjukkan kepedulian, dan mendengar aktif dengan berfokus pada intonasi dan nada suara, pemilihan kata.
- Jangan memaksa penyintas untuk langsung cerita kronologi kejadian. Dengarkan cerita, tanyakan kebutuhannya, dan bantu penyintas merasa tenang. Jika penyintas ingin didampingi oleh seseorang, jangan tolak.
- Jangan tinggalkan penyintas sendiri tetapi jangan membuat penyintas kewalahan. Berikanlah mereka waktu untuk menguasai emosi.
Penanganan Hukum Kasus Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
Materi workshop mengenai penanganan hukum disampaikan oleh Siti, Direktur LBH Apik Jakarta. Siti menceritakan bahwa LBH sudah lama bekerja sama dengan mahasiswa-mahasiswa dalam hal membahas hukum dan aturan untuk menangani kekerasan seksual di kampus.
Siti menjelaskan bahwa terjadi kasus peningkatan yang cukup signifikan selama pandemi. Pada tahun 2020, kasus kekerasan yang tinggi adalah kasus KDRT (418 laporan), sedangkan tahun 2021 kasus kekerasan yang tinggi adalah kekerasan berbasis gender online (489 laporan). Kasus kekerasan terus meningkat diberbagai tempat termasuk kampus, membuat penting bagi perguruan tinggi untuk menerapkan Standard Operating Procedure (SOP) yang tepat. Berikut saran dari Siti:
- Pencegahan: cantumkan dan umumkan bahwa kekerasan seksual adalah salah satu pelanggaran yang mendapatkan sanksi yang tegas. Aturan ini harus keluar di SK Rektor. Idealnya, saat mahasiswa mendaftar, dosen atau staf melamar kerja, diberitahukan melalui SK Rektor itu bahwa jika ditemukan melakukan kekerasan seksual, akan ada sanksi. Melakukan ini juga membantu mencegah pijakan hukum yang lemah. Harus ada hukuman di luar dan di dalam kampus.
- Mekanisme Pengaduan/Pelaporan: pastikan bahwa kampus memiliki sarana, hotline posko pengaduan baik itu secara online ataupun offline. Pastikan bahwa posko pengaduannya aman untuk korban.
- Penanganan (Pemenuhak Hak Penyintas): berikan dukungan bagi penyintas seperti counseling, cuti, dan segera mengurus masalahnya dan memberikan sanksi bagi pelaku.
Siti juga menjelaskan bahwa LBH berfungsi seperti backup menjadi sarana konsultasi hukum untuk teman-teman di kampus. LBH tidak pernah mengambil keputusan untuk korban. LBH akan menjelaskan semua dampak dari sisi hukum, dan mengizinkan penyintas untuk memilih jalan apa yang terbaik untuk mereka.
Kampus-kampus harus mengetahui payung hukum kasus kekerasan seksual:
- KUHP (Kitab UU HukumPidana)
- KUHAP (Kitab UU Hukum Acara Pidana)
- UU Perlindungan Saksi dan Korban
- Pemendikbudristek
- Sop penanganan kekerasan seksual
“Pelaku harus diberikan sanksi. Seperti sanksi administratif ringan yang berbentuk teguran tertulis, atau pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa. Sanksi tingkat sedang adalah pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan atau pengurangan hak mahasiswa. Kemudian, penundaan mengikuti perkuliahan (skors), hingga pencabutan beasiswa atau pengurangan hak lain. Terakhir, sanksi administrasi terberat adalah pemberhentian. Pemberhentian sebagai mahasiswa atau pemberhentian sebagai jabatan dosen,” jelas Siti.
Implementasi Permendikbudristek Untuk Menciptakan Ruang Aman di Kampus
Chatarina, Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melanjutkan diskusinya dengan membahas implementasi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021.
“Permendikbud lahit untuk dorong bagaimana keperdulian kampus dalam penanganan kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual menunjukkan fenomena gunung es, hampir semua kampus memiliki kasus kekerasan seksual,” jelas Chatarina. Sekarang kekerasan seksual menjadi lebih sulit karena presentase kekerasan seksual yang sampai penetrasi atau pemerkosaan itu lebih sedikit dan tidak ada saksi. Ini membuat sulit untuk melakukan pembuktian.
Chatarina menjelaskan bahwa kebijakan pencegahan kekerasan seksual masuk ke dalam episode 14 Program Transformasi Pendidikan – Kampus Merdeka Belajar. Pemerintah ingin memenuhi hak setiap warga untuk mendapatkan proses pembelajran yang aman serta menyenangkan bagi mereka untuk mencapai pembelajaran yang optimal.
Berikut definisi kekerasan seksual dalam Permendikbud 30/2021 (Ps 1), “Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/ atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.”
Chatarina menambahkan bahwa Permendikbud juga akan memastikan kapus menerapkan sistem yang bagus dalam hal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Seperti pada pasal 10 sampai dengan pasal 19, perguruan tinggi wajib melakukan Pendampingan, Pelindungan, Pemulihan Korban, dan Pengenaan Sanksi Administratif. Perguruan tinggi yang tidak melakukan keempat penanganan itu akan diberikan sanksi seperti penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana, dan atau penurunan tingkat akreditasi kampus.
Kampus-kampus harus melaporkan kinerja Satgas PPKS mereka dan menjaga transparansi. Chatarina mengingatkan bahwa banyaknya kasus tidak selalu menunjukkan bahwa kampus itu jelek. Tidak akan ada sanksi kepada jumlah kasus. Permendikbud mengapresiasi kampus yang terbuka dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengatasi masalah. Laporan tidak hanya laporan kasus. Jika tidak ada kasus, perguruan tinggi bisa melaporkan kinerja mereka seperti bagaimana mereka sudah membentuk Satgas PPKS? Apa yang sudah dilakukan? Dan lain-lain.
Paristiyani, Kepala LLDikti Wilayah III menekankan pentingnya memiliki sistem yang kuat untuk mengembangkan dan mengimplementasikan PPKS sesuai aturan Permendikbudristek No 30.
“Kami juga berharap kepada UMN dan teman-teman kampus lainnya yang hadir hari ini untuk betul-betul melakukan training untuk pencegahan dari kekerasan seksual; baik itu untuk satgas atau organisasi di bawah satgas dan perguruan tinggi dengan implementasi Permendikbudristek No 30. Dan itu secara berkesinambungan dan terintegrasi denga proses Tridarma Perguruan Tinggi,” ucap Paristiyani.
“Kami sangat mengapresiasi tindakan UMN untuk segera sigap dan membuat satgas PPKS dan juga inisiatif untuk mengundang teman-teman kampus lainnya. Ada kepeduluan UMN tidak hanya untuk kampusnya sendiri tetapi kampus lainnya juga,” ucap Dian dalam acara penutup.
Workshop ini adalah langkah awal bagi UMN untuk memberantas kekerasan seksual di UMN dan kampus lainnya. Usaha UMN juga tidak berhenti disini, akan ada berbagai pelatihan lagi di masa depan. Diharapkan bahwa workshop ini bermanfaat dan bisa membantu setiap perguruan tinggi untuk siap dan sigap dalam penangani kasus kekerasan seksual di kampusnya masing-masing.
Kekerasan seksual bukanlah hal yang sepele dan kami di sini untukmu. Jika kamu mengalami kekerasan seksual atau kamu melihat tindakan kekerasan seksual di kampus, silahkan lapor ke:
Posko aduan kekerasan seksual di UMN: https://bit.ly/LaporKSUMN
Posko aduan kekerasan seksual Kemdikbud: https://bit.ly/MerdekaDariKekerasan
*by Levina Chrestella Theodora | UMN News Service
Kuliah di Jakarta untuk jurusan program studi Informatika| Sistem Informasi | Teknik Komputer | Teknik Elektro | Teknik Fisika | Akuntansi | Manajemen| Komunikasi Strategis | Jurnalistik | Desain Komunikasi Visual | Film dan Animasi | Arsitektur | D3 Perhotelan , di Universitas Multimedia Nusantara. www.umn.ac.id