UMN Selenggarakan Seminar Bersama ORCID & OJS
Januari 13, 2025
UMN Jadi Tuan Rumah Puncak ASPIKOM: Ajang Bergengsi Insan Komunikasi Indonesia
Januari 13, 2025

Pekantara UMN Tekankan Kesetaraan Gender Pada Mahasiswa

Seminar Pekantara Bersama Carlina & Niknik (Dok. UMN)

Tangerang – Pada (13/12/2024) Pekantara menyelenggarakan lagi seminar akhir sebagai penutup Pekantara tahun ini. Mengundang dua narasumber Carlina Octavia ni, B. SC., M. SC selaku Antropolog Digitalisasi & AI Advisor FAIR Forward GIZ, serta narasumber lainnya Dr. Niknik Mediyawati, S. Pd., M. Hum selaku Dosen FIKOM UMN selaku dosen jurnalistik UMN . Seminar terakhir Pekantara mengangkat tema tentang kesetaraan gender ‘Verbal Harassment Impact On Gender Equality”

Isu kesetaraan gender sejak dahulu hingga saat ini tidak pernah selesai, seringkali kita temukan permasalahan tentang kesetaraan gender. Saat ini isu mengenai kesetaraan gender semakin marak melihat teknologi yang kian berkembang.

“Pembelajaran tentang kesetaraan gender ini sangat penting di studi humaniora, isu ini menjadi isu dunia dan ada pula di salah satu poin SDG. Isu ini juga sudah sering diperbincangkan dan banyak kita saksikan dari latar belakang budaya menjadi problem. Tapi melihat era digital kita harus melihat kesetaraan gender dari aspek digital”, ucap Simon petrus selaku Koordinator Studi Humaniora.

Simon berharap dengan diangkatnya tema ini kita semakin tahu tentang kesetaraan gender dan menjadi concern bersama dan bagaimana kita bertindak dengan sesama manusia baik di lingkungan sosial ataupun pertemanan, karena bagi Simon generasi muda adalah agen perubahan.

Pada seminar ini narasumber pertama Carlina, membahas tentang diskriminasi gender secara digital dan melihat AI yang semakin maju dan menjadi kecaman semakin menguatnya diskriminasi gender.

“Kekerasan gender ini bisa dilakukan secara digital baik dengan alat atau platform yang menggunakan teknologi. Secara antropologi digital jika kekerasan dan patriarki bisa terjadi secara langsung, maka hal ini bisa terjadi juga secara digital”, ucap Carlina.

Carlina memaparkan data juga tentang kekerasan gender yang dialami oleh perempuan sebanyak 16% – 58% secara online. Sebanyak 85% menyaksikan kekerasan digital secara online. Carlina juga menjelaskan bahwa misinformasi dan pencemaran nama baik paling tinggi di dunia, Carlina juga turut menyebutkan trend tersebut salah satunya adalah ‘spill the tea’. 

“Kita sendiri pasti sudah pernah menyaksikan pelecehan secara digital baik dari postingan-postingan ataupun komentar di internet mulai dari selebritas hingga orang yang kita bahkan tidak kenal. Tidak hanya itu ada juga istilah lain yang disebut dengan Superfising yakni upaya terkoordinasi untuk menyebarkan konten yang bertujuan untuk merusak reputasi secara online”, lanjut Carlina.

Selain itu Carlina juga membahas bagaimana AI saat ini disalah gunakan oleh banyak pihak, hal sederhananya banyak orang membuat konten pornografi menggunakan AI, baik dari foto dan audio yang disengaja untuk merusak citra seseorang. Hal ini menjadi kekhawatiran Carlina karena semakin banyak data yang dilatih, kedepannya AI akan semakin baik dan halus dan akan semakin susah untuk membedakan mana yang asli dan mana yang palsu. 

“Hal ini tentu harus diperhatikan juga oleh para perusahaan internet juga tentang etika penggunaan media sosial dan AI. Perusahaan harus berhati-hati dalam penyimpanan data masyarakat, transparansi dari perusahaan tentang data-data privasi dan kebijakan yang ada”, ucap Carlina

Saat ini sudah ada 320.000 laporan mengenai ancaman kekerasan gender secara online, Carlina berpesan kepada mahasiswa untuk berhati-hati dalam menggunakan media sosial dan mementingkan keamanan privasi data.

“Internet itu ibaratkan tato yang tidak bisa dihapus dan penyebarannya cepat. Belum lagi komentar-komentar jahat yang akan terus mengikuti kalian saat kontennya tersebar. Menjaga privasi dan berinteraksilah yang sehat di internet”, tutup Carlina.

Seminar ini dilanjutkan oleh Niknik yang membahas tentang kekerasan verbal dalam kehidupan sehari-hari dan kaitan Bahasa Indonesia dan hukum. Perkembangan teknologi saat ini tidak hanya semata-mata tentang teknologi, tapi juga bagaimana masyarakat berkomunikasi melalui teknologi.

“Potensi kekerasan verbal itu harus dilihat dari mana kita bertumbuh, bisa dari keluarga yang memiliki hubungan toxic seperti kata-kata kasar tentu anak akan belajar dari situ. Lainnya mungkin adalah lingkungan, pertemanan, sekolah maupun kampus. Komunikasi yang negatif sangat berpengaruh”, ucap Niknik.

Bagi Niknik kekerasaan verbal bisa melalui perasaan kata-kata kasar penghinaan dan fitnah. Ada beberapa tindakan yang bisa dikategorikan kekerasan verbal seperti panggilan dengan nada hinaan, menggoda dengan kata-kata, manipulasi, kritik secara terus menerus.

“Memberikan saran dan kritik boleh asal ada solusi dan membangun, tapi bukan terus menerus, selanjutnya adalah hujatan, hinaan, dan terakhir fitnah. Hal ini  berhubungan dengan undang-undang  dan bisa dilaporkan secara hukum  karena melanggar peraturan dan merenggut kehormatan seseorang”, lanjut Niknik.

Niknik juga menyampaikan agar mahasiswa mengingat tiga hal penting diantaranya adalah lokusi yang artinya mengetahui informasi apa yang mau disampaikan, Ilokusi maksud kita memberikan informasi tersebut dan terakhir pengaruh dari informasi tersebut.

“Banyak sekali contoh-contoh kasus yang sangat viral di Indonesia akibat penyalahgunaan Bahasa Indonesia ataupun salah penangkapan kata. Mulai dari pidato, memes, dan kata-kata kasar lainnya yang pernah digunakan. Mungkin hal ini bagi mereka tidak menjadi masalah tapi tentu kita tidak bisa menormalisasikan hal ini”, tutup Niknik.

 

By Rachel Tiffany Tanukusuma | UMN News Service

Kuliah di Jakarta untuk jurusan program studi Informatika| Sistem Informasi | Teknik Komputer | Teknik Elektro | Teknik Fisika | Akuntansi | Manajemen| Komunikasi Strategis | Jurnalistik | Desain Komunikasi Visual | Film dan Animasi | Arsitektur | D3 Perhotelan , di Universitas Multimedia Nusantara. www.umn.ac.id 

Verified by MonsterInsights