Bendera Indonesia Berkibar di Global Village AIESEC
September 7, 2016Mata Elang Dianugerahi Penghargaan Best Documentary Pada Kompetisi Film Australia-Indonesia
September 7, 2016Keseharian seorang debt collector motor yang diangkat dalam film dokumenter ‘Mata Elang’ garapan Wisnu Dewa Broto (Film dan Televisi, 2013) dinobatkan sebagai dokumenter terbaik dalam ReelOzInd, sebuah festival dan kompetisi film pendek pertama Australia dan Indonesia yang dikelola oleh Australia Indonesia Centre.
Tipikal pria asal Indonesia Timur kerap menciptakan suatu stereotip sendiri di kalangan masyarakat. Perawakannya yang tinggi, berwarna kulit gelap dan terkesan sangar, membuat mereka ditakuti oleh publik. Pandangan itulah yang menjadikan mereka sesuai untuk melakukan pekerjaan tertentu seperti debt collector.
Pak Melki, seorang pria asal NTT yang saat ini telah bermukim di Tangerang, mendapatkan pekerjaan sebagai debt collector motor. Ia memegang 28 cabang untuk leasing motor. Sistem bekerjanya ialah setiap awal bulan, kantor-kantor leasing memberikan nomor-nomor plat motor yang masih memiliki tunggakkan. Data-data tersebut telah terkoneksi langsung dengan ponsel pak Melki. Berbasis di kawasan Kelapa Dua, Gading Serpong, setiap kali ada motor yang melintasi kawasan tersebut, pak Melki mengecek plat nomornya. Jika termasuk di dalam para penunggak, Ia langsung mengejar orang-orang tersebut.
Namun, saat Ia berinteraksi dengan penunggak, ternyata kondisi yang terjadi tidak selalu seperti apa yang dibayangkan oleh masyarakat. “Kita ingin menunjukkan bahwa interaksi debt collector tidak selamanya kasar. Selain itu, kita juga mencoba untuk mengubah stereotip masyarakat mengenai orang-orang Timur tersebut,” jelas Wisnu. Di samping itu, Mata Elang juga menyorot aktivitas lain sang debt collector ketika sedang tidak bertugas.
Di beberapa titik di kawasan Gading Serpong, Tangerang, kerap ditemukan sekelompok pria asal Indonesia Timur yang ‘mangkal’ di pinggir jalan untuk mengawasi pengendara motor. Fenomena inilah yang menjadi inspirasi bagi Wisnu dan The Sign production untuk menggarap Mata Elang. “Saya sering melihat mereka berdiri di sana sambil memegang handphone. Setelah bertanya sana-sini, akhirnya diketahui bahwa mereka debt collector. Selanjutnya, kami melakukan riset lebih mendalam, menginterview yang bersangkutan, baru menggarap,” ujar sang sutradara.
Untuk mengikuti kegiatan mereka sehari-hari sembari melakukan pengambilan gambar, membutuhkan suatu kepercayaan antara film maker dan narasumber. “Ini yang menjadi tantangan kami, karena ada beberapa yang tidak terbuka untuk kami ikuti aktivitasnya,” tuturnya.
Setelah proses penggarapan selama empat bulan, film dokumenter pendek yang merupakan tugas mata kuliah Documentary 1 tersebut selesai dengan memuaskan dan diikutsertakan ke berbagai festival serta kompetisi, salah satunya ialah ReelOzInd.
ReelOzInd mengusung semangat untuk meningkatkan kesadaran dan pengertian antar dua negara. Tak hanya itu, ajang ini juga merangkul orang dari berbagai kalangan, baik mahasiswa maupun pembuat film profesional untuk memamerkan talenta mereka di hadapan audience, baik di Australia maupun Indonesia.
Selain mata Elang, ada film besutan sutradara muda UMN yang mendapatkan penghargaan Special Mention atau pujian khusus di kategori fiksi yakni ‘Mendadak Dangdut’ karya Gisela Levy. (*)