Mewujudkan Semangat Nusantara
November 7, 2019Pementasan Teater Katak Ke-60, Kisah Kutukan Werewolf Abad XVIII di Jerman
November 12, 2019TANGERANG – Di era media baru ini perkembangan teknologi telah tumbuh semakin pesat. Saat ini, informasi tidak hanya didapatkan oleh media massa terverifikasi, tetapi setiap orang sudah dapat menjadi produsen sekaligus konsumen informasi. Contohnya adalah melalui penggunaan media sosial, maka setiap orang dapat memproduksi dan mengonsumsi informasi, bahkan 24 jam.
Head of the School of Communication, Film and Media Studies Queensland University of Technology (QUT) Prof. Jane Stadler melihat media sosial ini sebagai penyumbang yang meningkatkan sirkulasi peredaran informasi sesat.
“Untuk membuat situasi yang mengganggu dan membingungkan, hanya memerlukan satu persen orang untuk menyebarkan berita palsu dari total populasi,” ujar Jane saat memberikan materi kuliah tamu Digital-Fact Checking di Lecture Hall UMN pada Rabu (6/11).
Jane menjelaskan perkembangan teknologi sekarang sangat memungkinkan untuk memalsukan sesuatu dengan sangat mudah, baik yang dibuat oleh algoritma maupun manusia menggunakan komputer mahalnya. Ada beragam konten yang dapat dimanipulasi, mulai dari teks, audio, visual, hingga audio-visual. Salah satu kemajuan teknologi tersebut adalah menggunakan Deepfake sehingga orang dapat menggabungkan video atau audio palsu dengan sumber material yang sudah ada.
“Dengan kata lain, dapat diasumsikan bahwa bagian penting dari tubuh manusia dapat disarikan dan diterjemahkan menggunakan prinsip-prinsip dasar komputasi. Hal ini sungguh sangat menyeramkan, bukan?,” lanjutJane.
Oleh karena itu, Jane melihat masalah etika menjadi perhatian di era media baru ini. Bukan hanya belajar membedakan materi nyata dari yang palsu, melainkan audiens dan pembuat konten pun perlu berpikir tentang implikasi etisnya.
Jane pun menceritakan bagaimana orang menuntut untuk memperlakukan aplikasi ‘asisten pribadi’ dengan hormat selayaknya manusia, seperti Siri dan Alexa.
“Namun, kita perlu berpikir tentang bagaimana kita ingin diperlakukan oleh kecerdasan buatan dan juga siapa yang bertanggung jawab jika robot seperti Boston Dynamic [robot militer AS] menimbulkan kerusakan? Jika menginginkan robot untuk membuat penilaian tentang kehidupan manusia, kita perlu mengajarkannya moralitas. Dan dapatkah kita mengajarkan robot atau algoritma tentang moralitas?” tanggap Jane mengenai etika manusia terhadap robot atau kecerdasan buatan.
Di sesi akhir, Jane berpendapat bagaimana perkembangan teknologi media digital saat ini mungkin telah membentuk budaya media, masyarakat, dan pilihan etis. Ia pun menutup kuliah tamu Digital-Fact Checking dengan kutipan dari UNESCO.
“Teknologi adalah produk yang diciptakan sebagai agen potensial untuk perubahan. Prediksi dan kinerja dari mesin dibatasi oleh keputusan dan nilai-nilai manusia. Dengan kata lain, seseorang yang merancang, mengembangkan, dan memelihara sistem AI (Artificial Intelligence) akan membentuk sistem tersebut berdasarkan pemahaman mereka sendiri tentang dunia,” tutup Jane.
Digital-Fact Checking adalah mata kuliah pilihan yang mengajarkan mahasiswa Jurnalistik UMN untuk mengecek kebenaran materi yang tersebar secara digital, apakah bersifat benar, misinformasi, ataupun disinformasi. Pada tahun ini, mahasiswa Jurnalistik UMN – dengan peminatan Digital-Fact Checking mengadakan projek bersama mahasiswa QUT, Australia untuk mengecek kebenaran suatu klaim digital. Selain itu, sebagai projek akhir, mereka akan melakukan liputan mendalam terkait klaim yang telah dicek kebenarannya.
(MC/CRA)
*by Melinda Chang – Universitas Multimedia Nusantara News Service
Kuliah di Jakarta untuk jurusan program studi Informatika| Sistem Informasi | Teknik Komputer | Teknik Elektro | Teknik Fisika | Akuntansi | Manajemen| Komunikasi Strategis | Jurnalistik | Desain Komunikasi Visual | Film dan Animasi | Arsitektur | D3 Perhotelan , di Universitas Multimedia Nusantara. www.umn.ac.id