UMN Mendapat Kunjungan dari Media Indonesia
Maret 3, 2023Dosen PJJ UMN Bahas Politik Tawa di Kuliah Umum Universitas Majalengka
Maret 7, 2023Dr. Maria Irmina Prasetiyowati, S.Kom., M.T. pada saat pasca-sidang Doktor di Institut Teknologi Bandung. (Dok. Maria Irmina Prasetiyowati)
TANGERANG – Lulus kuliah S3 adalah suatu pencapaian yang tidak dialami banyak orang, atau bahkan tidak pernah terpikirkan– Apalagi bagi mahasiswa yang masih menjalankan kuliah S1nya.
Kamu tahu? Mengutip Data Boks, data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, hanya ada 59.197 penduduk Indonesia tercatat berpendidikan S3. Jumlah tersebut hanya 0,02% dari total penduduk Indonesia 272,23 juta.
Padahal, memiliki gelar doktor banyak manfaatnya, loh. Melalui pengalaman studi pasca-sarjana, mahasiswa akan diperkaya dan memperoleh berbagai keterampilan dan keuntungan pada kehidupan profesional dan pribadi, dan dengan mendapatkan kualifikasi yang bergengsi.
Bagaimana sih kehidupan menjadi mahasiswa S3? Maria Irmina Prasetiyowati, dosen Informatika Universitas Multimedia Nusantara (UMN) sejak 2008, membagikan cerita kuliah S3nya kepada UMN.
Sempat Tidak Ingin Melanjutkan Studi S3nya
Suasana mahasiswa S3 sedang presentasi di ruang kelas ITB. (Dok. Maria Irmina Prasetiyowati)
Maria berkuliah di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung (ITB) sejak sekitar bulan Agustus 2018. STEI merupakan gabungan dari dua departemen yaitu “Departemen Teknik Elektro” dan “Departemen Informatika.” Ia memilih jurusan tersebut karena linieritas dari ilmu yang ia tekuni sejak kuliah S1.
“Saya memilih ITB karena bagi saya, sekolah tinggi jurusan teknik yang ada di ITB merupakan salah satu sekolah dan jurusan teknik tertua dan terbaik di Indonesia. Selain itu, saya juga menjalankan kuliah S2 saya di ITB,” jelas Maria, saat ditanya mengenai alasannya berkuliah di ITB.
Kuliah di ITB bak naik roller coaster– begitu buka Maria saat ditanyai mengenai pengalaman kuliahnya di ITB. Maria bercerita bahwa ia sempat khawatir dan merasa tidak mampu mengikuti kurikulum yang dijabarkan, terutama karena ia sudah berumur.
“Apalagi setelah melihat teman-teman seangkatan S3 yang umurnya jauh di bawah saya. Mereka berumur antara 20-30 tahun. Sedangkan saya saat itu sudah kepala 4 dan JELITA (Jelang Lima Puluh Tahun),” cerita Maria.
Ia merasa bahwa dibandingkan dengan teman-teman seangkatannya, mereka pasti mendapatkan bekal ilmu yang jauh lebih baru. Salah satu contohnya adalah “Machine Learning,” sebuah ilmu yang tidak Maria dapatkan pada saat kuliah S1 dan S2 tapi sudah dipelajari oleh teman-temannya saat mereka kuliah S1 dan S2.
Karena merasa tidak percaya diri, ia bahkan sudah bertekad untuk mundur dari tugas belajar, menghadap Rektor dan para Wakil Rektor UMN untuk kembali menjadi dosen di UMN.
Untungnya, niat mundur itu batal ia lakukan karena ada suara batin yang berkata kepadanya. “‘Jangan andalkan kekuatanmu, ada Aku (Tuhan) yang akan selalu menyertaimu.’ Dari situ, saya punya kekuatan bahwa Tuhan akan menyertai di setiap usaha dan upaya manusia,” cerita Maria.
Perjalanan Naik Turun Berkuliah S3 di ITB
Maria bersama dengan mahasiswa satu bimbingannya. (Dok. Maria Irmina Prasetiyowati)
Maria menceritakan kehidupan kuliahnya yang seperti naik roller coaster. Ia bercerita bahwa selama studi S3nya, ada kewajiban “residensi” (tidak semua dosen pembimbing menerapkan kewajiban tersebut). Tetapi, dosen pembimbingnya, Ir. Kridanto Surendro, M.Sc., Ph.D. (akrab dipanggil Endro), mewajibkan residensi setiap hari dari pagi sampai sore, bahkan malam.
Endro juga selalu meminta mahasiswanya untuk lapor dan mempresentasikan hasil riset mereka selama satu minggu. Pertemuan mingguan tersebut dinamakan “Raboan,” dimana mahasiswa akan mendapatkan komentar dan saran, juga target yang harus dicapai minggu depannya. Endro aktif memantau mahasiswanya.
“Saat sebelum pandemi saya selalu datang pagi-pagi, bahkan lebih pagi dibandingkan saat saya bekerja di UMN dan pulang malam. Saya bahkan sempat dijuluki ‘juru kunci’ karena selalu datang paling awal dan pulang paling akhir,” ucap Maria.
Saat ditanya mengenai perasaannya melewati sehari-hari berkuliah seperti itu, di satu sisi, ia merasa senang karena progres risetnya dan ujian tahapan kemajuan (SK) yang ada di ITB dapat ia lalui tepat waktu. Selain itu, ia dapat berinteraksi dengan teman-teman satu ruangannya untuk saling mendiskusikan riset yang dilakukan.
Tapi, Maria mengatakan bahwa ia sering mendapatkan komentar-komentar yang tidak mengenakan dari teman maupun kakak tingkat dari dosen pembimbing lain.
“Mereka menganggap kerajinan saya dengan setiap hari hadir dari pagi sampai malam adalah hal yang terlalu berlebihan dan sia-sia karena mereka sistemnya hanya hadir di kampus saat butuh pembimbing saja, berbeda dengan saya yang wajib hadir setiap hari,” cerita Maria.
Padahal, sistem yang diterapkan Endro sangat efektif. Maria mengatakan bahwa karena wajib hadir setiap hari dan wajib memiliki kemajuan setiap minggunya, mahasiswa di bawah bimbingan Kridanto cepat melalui tahapan dan segera lulus.
“Sedangkan mahasiswa yang mencemooh dan mengkritik saya itu sampai sekarang belum lulus juga (padahal kakak tingkat). Menurut informasi di ITB, kebanyakan mahasiswa S3 menyelesaikan kuliahnya lebih dari 5 tahun (umumnya 4 tahun),” cerita Maria.
Melihat keterlambatan lulus mahasiswa S3 ITB, banyak dosen pelan-pelan mengikuti jejak Endro dengan meminta progres mingguan dan mewajibkan mahasiswa bimbingannya untuk lebih sering hadir.
Selain itu, Maria berbagi bahwa ditengah perjalanan kuliah S3nya, suaminya didiagnosa dengan penyakit gagal ginjal kronis. Sampai artikel ini ditulis, suami Maria masih menjalani perawatan cuci darah secara berkala di rumah sakit.
Dengan jadwalnya yang sudah padat, Maria bercerita bagaimana ia membagi waktunya. Setelah berkuliah, disela-sela waktu sambil merawat suaminya, ia akan mengerjakan riset dan tugas kuliahnya di rumah sakit. Walau sempat mengalami progres risetnya yang tertunda, Maria tetap tidak menyerah.
“Saya menemukan bahwa saat studi S3 ini saya hanya belajar 3 hal: ikhlas, sabar, dan berserah kepada Tuhan. Berserah bukan berarti menyerah, tapi artinya saya berusaha, dan sisanya Tuhan yang bekerja. Semua yang saya dapatkan ini adalah Anugerah dariNya,” ucap Maria, saat ditanya apa motivasinya melewati kesulitan yang ia hadapi selama berkuliah.
Tetap Bersemangat, Maria Lulus Dengan Bangga dan Berprestasi
Maria saat sedang sidang skripsi S3. (Dok. Maria Irmina Prasetiyowati)
Terlepas dengan kesulitan yang ia alami, dari cemoohan mahasiswa kakak tingkat di kampus, dan suaminya yang sakit, Maria berhasil lulus tepat waktu dengan hasil yang memuaskan yaitu nilai akhir “A” dan mendapatkan predikat Cum Laude. Selain itu, riset Maria yang berjudul “Modifikasi Algoritma Seleksi Fitur pada Random Forest” berhasil tempus paper internasional bergengsi Q1, ranking SCImago, Scopus.
Dikenal juga sebagai indikator SJR (SCImago Journal Rank), indikator SJR adalah ukuran pengaruh ilmiah jurnal ilmiah yang memperhitungkan jumlah kutipan yang diterima oleh sebuah jurnal dan kepentingan atau prestise jurnal tempat kutipan berasal. SJR adalah salah satu standar yang diakui secara internasional untuk mengidentifikasi kuartil jurnal.
SJR sebuah jurnal adalah nilai numerik yang menunjukkan jumlah rata-rata kutipan tertimbang yang diterima selama tahun yang dipilih per dokumen yang diterbitkan dalam jurnal tersebut selama tiga tahun sebelumnya.
Setiap kategori subjek jurnal dibagi menjadi empat kuartil: Q1, Q2, Q3, Q4. Q1 ditempati oleh 25% jurnal teratas dalam daftar; Q2 ditempati oleh jurnal-jurnal dalam kelompok 25 hingga 50%; Q3 ditempati oleh jurnal-jurnal dalam kelompok 50 hingga 75% dan Q4 ditempati oleh jurnal-jurnal dalam kelompok 75 hingga 100%.
“Bagi kami, tembus jurnal internasional Q1 (scopus) adalah hal yg membanggakan,” ucap Maria.
Riset Maria tentang modifikasi Feature Selection. Topik ini dipilih karena semakin besarnya data yang disimpan sehingga membutuhkan seleksi fitur agar dapat mengurangi dimensi. Selain itu, topik ini adalah bagian dari topik Machine Learning dan Data Science yang sedang marak dibahas.
Kembali ke UMN Menjadi Dosen yang Membanggakan
Maria bersama dengan rekan dan pemimpin UMN merayakan kelulusan kuliah S3nya. (Dok. Maria Irmina Prasetiyowati)
Membanggakan UMN, rekan dan beberapa jajaran pemimpin UMN menghadiri sidang Maria dan bersama merayakan lulusan Maria.
“Saya berharap dapat melanjutkan penelitian saya ini, dan mengajak dosen juga mahasiswa untuk bekerja sama. Saya juga berharap bisa bekerja sama dengan Perguruan Tinggi atau instansi untuk melakukan riset di topik tersebut (riset S3nya),” ucap Maria.
Maria juga menitip pesan kepada para mahasiswa UMN yang mungkin ingin juga melanjutkan studinya atau rencana apapun yang dimiliki setelah lulus nanti. Ia berpesan kepada para mahasiswa UMN untuk menggantung cita-cita mereka setinggi langit dan bahwa keberhasilan tidak dicapai dengan instan tapi dengan proses.
“Bertekunlah dan nikmati proses yang terjadi. Sertakan Tuhan dalam setiap usaha dan karyamu. Karena hanya mengandalkan Dia, Anda akan berhasil. Jangan patah semangat, ya. Jika Anda mengalami kegagalan, ingatlah bahwa ada pintu sukses lainnya yang sedang menunggu anda. Tetap semangat!” tutup Maria.
Sekali lagi, UMN mengucapkan selamat dan sukses kepada Dr. Maria Irmina Prasetiyowati, S.Kom., M.T. atas pencapaian lulus S3 yang sangat luar biasa. Keluarga besar UMN juga mengirimkan doa dan dukungan penuh untuk kesembuhan suami Maria.
Proficiat!
By Levina Chrestella Theodora
Kuliah di Jakarta untuk jurusan program studi Informatika| Sistem Informasi | Teknik Komputer | Teknik Elektro | Teknik Fisika | Akuntansi | Manajemen| Komunikasi Strategis | Jurnalistik | Desain Komunikasi Visual | Film dan Animasi | Arsitektur | D3 Perhotelan , di Universitas Multimedia Nusantara. www.umn.ac.id