
UMN Resmikan Kerjasama Rekrutmen Bersama PT Bank CIMB Niaga Tbk
Maret 25, 2025
Skill Data Analytics: Langkah Awal Menuju Karir yang Sukses di Dunia Digital
April 9, 2025
Seminar tentang program keberlanjutan di Indonesia (Doc. UMN)
TANGERANG – Rabu (19/03/25), Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) menyelenggarakan diskusi virtual dengan tema “Tantangan Komunikasi Pembangunan Berkelanjutan di Negara Berpendapatan Menengah.” Diskusi ini membahas upaya dan tantangan dalam mengkomunikasikan pembangunan berkelanjutan di empat negara Asia Tenggara, yaitu Filipina, Bangladesh, Vietnam, dan Indonesia.
Diskusi ini diselenggarakan oleh UMN, University of St Thomas (UST) Angelicum College, Manila, Filipina, dan University of Liberal Arts Bangladesh (ULAB). Perwakilan dari masing-masing universitas diundang sebagai pembicara. Eunice Mareth Q. Areola, PhD HSG dari UST dan Angelicum College; Prof. Jude William Genilo dari ULAB; Huynh Tan Loi, Ph.D., dari Fakultas Lingkungan Hidup, Van Lang University; dan Maria Advenita Gita Elmada, M.Si. dari Fakultas Ilmu Komunikasi, UMN.
“Ini adalah forum diskusi yang didedikasikan untuk mendorong dialog internasional mengenai salah satu isu yang paling mendesak saat ini. Kita akan belajar bagaimana negara-negara menavigasi jalan yang unik menuju pertumbuhan yang berkelanjutan sambil menghadapi tantangan-tantangan tertentu. Wawasan dari para pembicara akan menjelaskan bagaimana komunikasi dapat memberdayakan masyarakat untuk menyeimbangkan kemajuan ekonomi, ketahanan lingkungan, dan kesetaraan sosial,” ujar Dr. Rismi Juliadi, S.T., M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi UMN, saat membuka acara.
Keberlanjutan: Sebuah Topik yang Beragam dan Kompleks
Masing-masing pembicara menyampaikan pandangan mereka mengenai tantangan komunikasi untuk pembangunan berkelanjutan. Mengawali diskusi, Eunice menyebutkan bahwa keberlanjutan merupakan topik yang multifaset karena memiliki banyak jargon teknis. Sulit untuk dipahami, dan tidak semua orang tahu tentang keberlanjutan. Selain itu, ada banyak kesalahpahaman tentang keberlanjutan.
“Banyak orang mengira bahwa keberlanjutan hanyalah tentang lingkungan dan planet ini; ada banyak keraguan. Tentu saja, beberapa alat komunikasi yang muncul sebagian besar ditujukan untuk menutupi kesalahan perusahaan, dan kami menyebutnya sebagai greenwashing,” jelas Eunice.
Ia menekankan bahwa pada akhirnya, ini semua adalah tentang berkomunikasi dan melakukan keberlanjutan dengan benar untuk meningkatkan kehidupan dan memungkinkan kita untuk memahami organisasi yang inklusif. Kita harus memastikan bahwa pikiran, hati, dan tangan kita berjalan bersama untuk etika dan tanggung jawab. Keberlanjutan harus dikomunikasikan sebagai sesuatu yang benar untuk segala usia.
“Saya ingin memberikan sebuah analogi. Makanan khas kami, sapin-sapin, dan makanan khas Anda, kue lapis, terlihat sama dan rasanya juga sama, namun cara kita menawarkannya akan menjadi pembeda antara tantangan dalam mengkomunikasikan keberlanjutan dan kemampuan untuk menjangkau dan memastikan bahwa seluruh gagasan keberlanjutan dan tujuan pembangunan berkelanjutan dapat diterima dan menjadi bagian dari arus utama,” jelas Eunice.
Seruan untuk Sustainable Development Goals (SDGs) ke-18: Komunikasi
Dalam kasus Bangladesh, Jude menjelaskan bahwa ia memulai dengan membagikan bagaimana komunikasi merupakan hal yang penting dalam SDGs tetapi diabaikan. Asosiasi Komunikator Kristen Sedunia telah memajukan hal ini. Dengan Aliansi Global untuk Manajemen Hubungan Masyarakat dan Komunikasi, telah menyampaikan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa SDG 18 seharusnya adalah tentang komunikasi.
“Selama pandemi, umat manusia dapat bertahan hidup karena komunikasi. Jadi mengapa tujuan SDG tidak menyinggung soal komunikasi? Orang-orang di bidang media dan komunikasi bertanya-tanya mengapa PBB tidak memikirkan hal ini?” kata Jude.
Jude kemudian melanjutkan dengan berbagi tantangan dalam berbagi informasi tentang pembangunan berkelanjutan. Tantangan tersebut meliputi kesenjangan digital, misinformasi, hambatan bahasa, inklusivitas, kebebasan berekspresi, dan melibatkan masyarakat yang terpinggirkan.
Selain itu, ia juga membagikan solusi yang diberikan oleh universitasnya untuk membantu mengatasi isu-isu tersebut. Beberapa strategi yang digunakan adalah pendekatan berbasis komunitas, memanfaatkan kesenjangan digital di media sosial, saling melek huruf, komunikasi yang bertanggung jawab, dan dukungan kebijakan.
Memasukkan Keberlanjutan dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi
Tan Loi kemudian melanjutkan presentasinya. Ia membagikan kontribusi Universitas Van Lang dan bagaimana mereka membawa konsep keberlanjutan kepada masyarakat dan mahasiswa. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan kesehatan fisik dan mental mahasiswa dan staf, mengurangi kesenjangan sosial, meningkatkan kualitas pendidikan, menjamin kesetaraan hak dalam pembelajaran dan penelitian, efisiensi air dan energi, tanggung jawab dalam konsumsi manusia, mencapai target nol emisi pada tahun 2045, serta memperkuat tata kelola dan korporasi dalam pembangunan berkelanjutan.
Mengenai tantangan yang ada, Tan Loi menyampaikan bahwa universitas memainkan peran penting dalam memajukan keberlanjutan. Namun, masih ada kekurangan dalam hal integrasi ke dalam kurikulum, mengubah kebiasaan dan praktik, keterlibatan mahasiswa dan fakultas dalam tujuan berkelanjutan, kesadaran mahasiswa, dan pesan yang jelas dan konsisten.
Melokalkan Konteks SDG di Negara Kepulauan
Sebagai pembicara terakhir, Maria membagikan upaya dan tantangan yang dihadapi oleh UMN dan Indonesia dalam mencapai SDG. Ia menyampaikan bahwa UMN sendiri sedang berusaha untuk mengintegrasikan dan memusatkan upaya-upaya keberlanjutan agar dapat mencapai target keberlanjutan lebih cepat dari yang seharusnya.
Mengenai tantangan yang dihadapi, Maria menjelaskan bahwa, seperti Bangladesh, Indonesia memiliki sekitar 280 juta penduduk yang tersebar di lebih dari 17.000 pulau dengan lebih dari 700 bahasa, karena Indonesia merupakan negara kepulauan.
Hal ini menimbulkan beberapa tantangan, seperti kesenjangan pendidikan, kesenjangan ekonomi, ancaman bencana, pelokalan konteks keberlanjutan, dan sebagainya, yang membuat pencapaian SDGs menjadi lebih sulit. Selain itu, informasi yang salah, literasi media, dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan inisiatif perusahaan (greenwashing dan whitewashing) menjadi masalah besar.
“Dalam laporan Pembangunan Berkelanjutan 2024, kita berada di peringkat 78 dari 166 negara. Hal ini tidak baik dan tidak buruk, mengingat kondisi demografi, lingkungan, sosial-ekonomi, dan budaya Indonesia yang unik, sehingga semua upaya keberlanjutan harus lebih terintegrasi, kontekstual, dan terlokalisasi,” ujar Maria.
Ia juga membandingkan situasi Indonesia dengan Vietnam. Vietnam telah mencapai dua hijau, yang berarti telah mencapai SDGs untuk dua tujuan tersebut. Indonesia tidak memiliki angka hijau di dasbor. Meskipun Indonesia memiliki kinerja yang lebih baik dan berada di jalur yang tepat untuk mencapai tujuan 2030, hal ini tidaklah cukup, dengan banyak tujuan yang stagnan dan tidak bergerak.
Selain itu, keberlanjutan menjadi kata kunci di Indonesia. Pemerintah, perusahaan, dan universitas selalu berbicara tentang keberlanjutan. Namun, pembicaraan mengenai keberlanjutan hanya sebatas diskusi yang tidak menyentuh esensi dari keberlanjutan itu sendiri.
Upaya UMN dalam Mencapai Keberlanjutan
Maria menyampaikan bahwa upaya keberlanjutan di perguruan tinggi harus berbeda dan lebih maju. Universitas dapat menciptakan pengetahuan melalui penelitian tentang bagaimana mengintegrasikan keberlanjutan dalam kehidupan sehari-hari untuk menilai upaya keberlanjutan dan isu-isu di sekitar kita.
UMN telah mencapai dan mengintegrasikan SDGs dalam kurikulumnya dengan menyesuaikan dan membuat mata kuliah dan menggunakan sustainability sebagai studi kasus di kelas. UMN juga mendorong proyek-proyek yang berhubungan dengan keberlanjutan dalam penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dan penjangkauan. Selain itu, UMN merupakan salah satu kampus paling berkelanjutan di Jabodetabek, dengan menempati peringkat ke-128 universitas paling hijau di dunia pada tahun 2024.
“Dalam kegiatan sehari-hari, kami melakukan banyak upaya lingkungan seperti green building, daur ulang air, dan mendorong mahasiswa untuk peduli terhadap keberlanjutan,” ujar Maria menutup pidatonya.
Bersama-sama, Kita Dapat Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Kesimpulannya, keempat negara tersebut mengalami tantangan dan upaya yang serupa. Dengan mengatasi degradasi lingkungan, kerentanan terhadap perubahan iklim, ketidaksetaraan sosial, serta kebutuhan akan pendidikan dan inovasi, negara-negara ini dapat bekerja untuk mengkomunikasikan isu-isu tersebut secara lebih inklusif, menjangkau khalayak yang lebih luas, dan membentuk masa depan yang lebih berkelanjutan.
Inisiatif kolaboratif yang melibatkan semua pemangku kepentingan akan sangat penting dalam mengatasi tantangan-tantangan ini dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Komunikasi yang efektif dan inklusif merupakan pilar fundamental untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di Filipina, Bangladesh, Vietnam, dan Indonesia. Negara-negara ini dapat membuka jalan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan adil dengan mengatasi tantangan komunikasi dan menerapkan strategi yang inklusif dan kolaboratif.
By Levina Chrestella Theodora
Kuliah di Jakarta untuk jurusan program studi Informatika| Sistem Informasi | Teknik Komputer | Teknik Elektro | Teknik Fisika | Akuntansi | Manajemen| Komunikasi Strategis | Jurnalistik | Desain Komunikasi Visual | Film dan Animasi | Arsitektur | D3 Perhotelan , di Universitas Multimedia Nusantara.