Di Balik Frekuensi
April 29, 2016Green Architecture: Solusi Krisis Energi Dunia
April 30, 2016Di balik tayangan televisi ada pemilik media, dan mereka bisa mengintervensi kebijakan editorial, walau itu sebenarnya melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS).
Tema itu diangkat dokumenter “Di Balik Frekuensi.” Film berdurasi 144 menit yang dirilis pada 2013 tersebut diputarkan dalam rangka pameran jurnalistik CommPress di Universitas Multimedia Nusantara (28/04/2016).
Cerita yang diangkat sutradara Ucu Agustin ini menyoroti dua stasiun televisi di Indonesia, Metro TV serta TV One, beserta pemilik masing-masing media, Surya Paloh (yang terafiliasi dengan partai politik Nasional Demokrat [NasDem]) serta Aburizal Bakrie (yang terafiliasi dengan partai politik Golongan Karya [Golkar]).
Dikisahkan Luviana, wartawan Metro TV yang telah bekerja di media milik Surya Paloh tersebut selama 10 tahun. Namun, akibat keinginannya membentuk serikat pekerja dan mewujudkan upah layak, secara sepihak perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Padahal, Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 menjamin, “Setiap pekerja memiliki hak untuk membentuk dan menjadi anggota sebuah serikat buruh.”
Selain itu, UU Serikat Pekerja juga mengatur, siapapun yang mencegah dibentuknya serikat pekerja (union busting) bisa dikenakan “pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Disorot pula bagaimana Hari Suwandi dan Harto Wiyono, dua warga korban lumpur Lapindo, berjalan kaki dari Porong, Sidoarjo, ke Jakarta. Hampir satu bulan mereka berjalan guna menuntut keadilan bagi para korban PT Minarak Lapindo Jaya milik Aburizal Bakrie.
Bakrie juga memiliki sejumlah media, di antaranya TV One. Televisi tersebut membingkai Hari dan Harto sebagai dua pencari sensasi, sementara televisi lain yang bukan merupakan bagian dari Bakrie Group memberitakan sosok mereka sebagai perwakilan aspirasi korban kesemena-menaan Lapindo (Bakrie).
Dokumenter yang diproduseri Ursula Tumiwa ini menekankan, “Tanah, air dan udara, –merupakan sumber daya yang terbatas dan memiliki nilai yang sangat berharga– harus dikuasai negara dan sebesar-besarnya digunakan untuk kepentingan rakyat.”
Namun, frekuensi sebagai bagian dari “udara” dan milik publik dieksploitasi oleh pemilik media dan digunakan demi kepentingan ekonomi serta politik mereka.
Lewat “Di Balik Frekuensi,” para pejuang hak publik atas frekuensi pun menyerukan, “Hentikan Monopoli, Kembalikan Frekuensi!” dan “Media Mengabdi Publik, Tidak Menghamba Pada Pemilik.”