Mahasiswi Jurnalistik UMN Raih Peringkat II MAWAPRES Tingkat Kopertis III
Mei 23, 2016Content Manager Viddsee: Bioskop di Indonesia Ga Pernah Menarik
Mei 24, 2016Teknologi digital merupakan turning point kedua, setelah teknologi televisi, dalam industri perfilman, menurut Content Manager Viddsee Indonesia, Dimas Jayasrana, dalam seminar “Film Distribution and Multiplatform.”
Acara yang merupakan bagian dari UMN Screen–screening film pendek bergenre fiksi, dokumenter, hingga animasi– itu diselenggarakan di Lecture Hall Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Tangerang, jam setengah enam sore kemarin (23 Mei 2016).
“Shifting sistem teknologi membawa juga shifting paradigma,” tegas Dimas. “Look at your gadgets. Seharusnya lu bisa lihat dunia. Dan ga ada pertanyaan-pertanyaan konyol yang jawabannya ‘ya lu google aja dulu’. Lagi-lagi persoalannya bukan di teknologi, tapi di paradigma. Aku pingin temen-temen liat juga beyond bioskop. Bioskop di indonesia ga pernah menarik.”
Ia mencontohkan layanan katalog film digital, Netflix, yang membukukan keuntungan lebih besar daripada bioskop se-Amerika Utara. Netflix juga telah membuka layanan bagi 122 negara, termasuk di Indonesia. Kini layanan katalog konten tersebut tengah menyiapkan kantor lokal di Indonesia dan akan memproduksi konten orisinal.
“Dan kalau kalian pikir 20 orang (sutradara Indonesia yang filmnya diputar di bioskop) bisa isi Netflix? No, kalian yang isi,” tambah Dimas merujuk pada mahasiswa-mahasiswi perfilman UMN. “The industry will go that way (digital). Siapa sih yang akan isi konten-konten di online platform? Kalian.”
Pasalnya, mahasiswa lebih mengetahui apa yang menarik, tipe cerita, tipe humor yang disukai generasi muda. Namun, ia mendorong mahasiswa mengeksplorasi ide khususnya perilaku dan preferensi target penonton kategori lain.
Dangdut, misalnya, di Youtube penontonnya minimal 50 ribu orang per video. Jenis musik ini jarang diangkat perfilman Indonesia. Padahal, industri dangdut termasuk industri yang paling stabil keuntungannya.
“Kenapa kita ga kepikiran? Karena kita kebanyakan berpikir tentang social class kita sendiri,” lanjut Dimas. Padahal, “When you’re speaking about business it’s not about social class, it’s about money.”