Reklamasi menjadikan kaum nelayan korban.
Itu sepenggal lirik lagu dalam film dokumenter “Rayuan Pulau Palsu.” Karya berdurasi hampir satu jam itu diputarkan oleh UMN Juice pada Rabu (1/6/2016) pukul 19.30 di pelataran SDN Cihuni, yang terletak di dekat Universitas Multimedia Nusantara (UMN).
Dokumenter tentang reklamasi, khususnya reklamasi di Jakarta, ini bertujuan menyentil Presiden Joko Widodo yang dalam pidatonya pernah menyatakan tidak mau memunggungi laut. Namun, kebijakan mengenai reklamasi dipandang para pembuat film ini sebagai kontradiksi janji sang presiden.
“Dan lucunya kita adalah negara kepulauan yang membangun pulau,” kata produser “Rayuan Pulau Palsu,” Randy Hernando. “(Karya ini ingin menggagas) Bagaimana memanusiakan manusia lewat kebijakan-kebijakan yang ditetapkan.” Ditambahkannya juga generasi muda, sebagai mahasiswa, perlu mulai memberi sumbangsih dengan berperan mengawal reklamasi maupun isu lainnya.
Kisan (Calon Mantan) Warga Muara Angke
“Saya lahir di Ancol. Dipindahkan ke Muara Karang. Dipindahkan ke Muara Angke. Sekarang mau dipindahkan lagi. Saya ini manusia,” protes seorang ibu sebagaimana ditampilkan “Rayuan Pulau Palsu.”
“Kita bukan orang liar, dan kita dipaksa sama pemerintahan dulu untuk tinggal di Muara Angke yang dulunya hutan,” keluh warga lain.
“Dari Muara Angke masih hutan, Pak, saya udah di sini. Sekarang, begitu di sini ada gedung di sana ada gedung, kita mau dipindah.”
Mereka akan dipindahkan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam rangka mewujudkan reklamasi teluk Jakarta. Reklamasi pembuatan 17 pulau oleh pemerintah Jakarta ini terintegrasi juga dengan proyek reklamasi Teluk Jakarta, dan disebut Proyek Garuda (KataData, 27 April 2016).
Selain mengakibatkan sejumlah warga digusur dan direlokasi, reklamasi juga menurunkan pendapatan nelayan. Sebelum reklamasi, mereka bisa mendapat 30 hingga 40 kg ikan saat melaut. Kini, mereka mendapat dua hingga 10 kg.
Dalam dokumenter yang digarap lembaga independen WatchDoc, nelayan juga memprotes kata-kata gubernur Jakarta, yang akrab disapa “Ahok,” mengenai tidak adanya ikan di Teluk Jakarta.
“Berani-beraninya Teluk Jakarta ga ada ikan,” kata salah satu nelayan. “Sebelum reklamasi ‘kan ada nelayan.”
Diperlihatkannya juga beberapa ekor ikan yang baru terjaring olehnya. “Ini ikan asli Teluk Jakara. Tuh, masih kepek-kepek.”
Bukan Hanya Jakarta dan Bali
Reklamasi di Indonesia bukan hanya terjadi di Jakarta dan Bali, tetapi yang ramai disorot media adalah kedua lokasi itu. Bagi produser Randy, pemilihan Jakarta sebagai tema dokumenternya dikarenakan Jakarta adalah “barometer” yaitu jika di Jakarta reklamasi telah dilakukan, daerah-daerah lain pun ikut melakukan reklamasi.
“Dan di Jakarta ada banyak kelas, kelas menengah bawah dan menengah atas, dan reklamasi ga menyentuh menengah atas dalam artian mereka punya pemikiran sendiri (yang berbeda dari sudut pandang nelayan dan warga yang direlokasi,” tambah Randy. “Makanya film ini menyasar menengah bawah, dalam artian menyadarkan masyarakat akan dampak reklamasi.”
By : Jennifer Sidharta