6 Prospek Kerja Jurusan Teknik Elektro
Juni 1, 2022Apa Itu Jurusan DKV dan Prospek Kerjanya
Juni 2, 2022TANGERANG – Konten yang ramah Search Engine Optimization (SEO) sangat diminati. Lebih banyak industri, termasuk media massa, meningkatkan produksi konten bervolume tinggi, pendek, kaya dan berorientasi kata kunci (keyword), dan berbiaya rendah untuk meningkatkan traffic situs mereka. Ini menimbulkan pertanyaan, apakah praktik semacam ini akan membunuh jurnalisme? Camelia Catharina, dosen Jurnalistik dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN), membahas masalah ini.
Diskusi tersebut merupakan bagian dari webinar bertema “Tantangan Jurnalisme Berkualitas di Era Online: SEO dalam Praktik Bisnis Media Online dan Pemenuhan Etika Jurnalisme” yang dilakukan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro (30/05/22). Camelia diundang sebagai keynote speaker acara tersebut.
SEO bukanlah hal baru. Camelia menjelaskan bahwa SEO adalah praktik lama tetapi baru-baru ini mendapatkan momentum. Menurut Search Engine Journal, SEO lahir sekitar tahun 90-an. “Semua orang mencoba mencari cara agar konten mereka berada di halaman pertama pencarian Google dan mendapatkan banyak traffic. Jadi, perusahaan sekarang menerapkan SEO dalam praktik mereka,” ucap Camelia.
Jurnalisme Berbasis SEO
SEO tidak terbatas pada perusahaan umumnya yang ingin meningkatkan pemasarannya. Media massa pun melakukan praktik. Camelia melanjutkan berbagi pengalaman dan pengetahuannya tentang penerapan SEO di media massa Indonesia dan luar negri. Dia berbagi bahwa sekarang media massa bahkan membuat divisi khusus untuk SEO, dan ada dua jenis konten yang dihasilkan oleh media massa untuk SEO yaitu, timeless content dan timely content.
“timeless content berisi informasi yang akan tetap relevan bahkan ketika dibaca di masa depan. timely content berisi informasi viral yang sedang terjadi di momen-momen tertentu,” jelas Camelia.
Dia menggunakan Kompas sebagai contoh. Kompas kini memproduksi timeless content secara massal. Timeless content dianggap SEO-friendly karena berisi informasi yang akan selalu dicari orang, kapan pun. Misalnya, “cara memasak pizza di rumah” atau “cara menonaktifkan akun Instagram saya”. Camelia bahkan berbagi bahwa media massa sekarang juga memposting lirik lagu di situs mereka karena bisa meningkatkan traffic.
Baca juga Keterampilan Multimedia Jadi Keharusan Jurnalis di Era Disrupsi Teknologi
Bisa terlihat jenis konten yang cenderung SEO-friendly? Mereka cenderung konten yang tidak membutuhkan banyak usaha, berbiaya rendah, dan tidak memerlukan banyak keterampilan jurnalistik. “Karena SEO, sekarang semua orang bisa menghasilkan konten tanpa harus bersusah payah belajar Jurnalistik,” kata Dr. Camelia sambil tertawa. Jurnalis juga tidak memerlukan banyak usaha saat memproduksi konten SEO.
Bagaimana SEO Menguntungkan dan Merusak Jurnalisme
Alasan media mengadopsi SEO sudah jelas. Sama seperti setiap industri lain yang mengadopsi SEO, ini untuk meningkatkan traffic situs mereka. traffic penting di media massa karena mempengaruhi kiklan. Jika suatu media memiliki traffic yang rendah, kemungkinan mendapatkan iklan atau iklan dengan bayaran tinggi sangat rendah.
“Di media dengan traffic tinggi, satu konten bisa menghasilkan 40-50 juta Rupiah dari iklan. Tentu pengiklan akan ingin beriklan di media massa yang memiliki trafik tinggi karena traffic tinggi berarti jumlah pembaca yang banyak,” kata Camelia. Media membutuhkan pendapatan iklan untuk menjaga perusahaan mereka tetap berjalan. Untuk di Indonesia, masyarakat masih belum mau membayar untuk berita, memaksa media massa untuk mengandalkan iklan.
Camelia menggunakan Kumparan sebagai contoh lain. Ia berbagi bahwa Kumparan memiliki divisi khusus untuk SEO untuk menghasilkan 7-25 artikel per-harinya. Penulis Kumparan SEO akan mencari tahu keyword apa yang sedang tren dan menulis artikel berdasarkan kata kunci tersebut. Praktik ini menghasilkan traffic dan klik.
Praktik SEO di media massa mungkin tampak tidak berbahaya, tetapi banyak masalah yang menyertainya. Camelia, yang sempat berbincang dengan rekan jurnalisnya, berbagi bahwa jurnalisme berbasis SEO mendorong jurnalis ke batas mereka. “Dengan SEO, nilai jurnalis sekarang diukur dengan klik dan traffic, bukan kualitas tulisan mereka. Hal ini mengakibatkan jurnalis menjadi terbebani dengan banyaknya pekerjaan dan menghilangkan idealisme jurnalis,” jelas Camelia.
Dengan SEO, jurnalisme menjadi berbasis pasar (market-driven journalism). The New York Times berbagi dalam sebuah artikel bahwa The Washington Post dan The Wall Street Journal mengubah praktik mereka ketika meliput berita setelah menggunakan metrik online (keyword generator) untuk mencari tahu jenis berita apa yang diinginkan publik. Ini juga menghasilkan argumen lain. “Pelanggan adalah raja,” tetapi apakah ini juga berlaku untuk jurnalisme?
Beberapa berpendapat bahwa media harus melaporkan apa yang diinginkan audiens, membuat SEO sangat bermanfaat bagi jurnalisme. Meskipun demikian, Camelia menjelaskan bahwa SEO dapat menghancurkan penilaian media massa akan berita karena mereka tidak peduli dengan nilai berita dan hanya menyerah pada apa yang ingin dibaca publik. Berita yang cenderung mendapatkan klik lebih banyak adalah berita viral, sensasional, dan hiburan. Bukankah salah satu peran dan fungsi pers adalah untuk mengedukasi masyarakat?
Dengan logika ini, “Daripada meliput tentang korupsi, rusaknya lingkungan kita, media massa lebih memilih memberitakan Atta Halilintar dan keluarganya karena mendapat lebih banyak klik,” jelas Camelia. Jika ini terus berlanjut, berita-berita penting yang bernilai berita tinggi akan dibayangi, dan jurnalisme yang berkualitas akan menurun. Munculnya SEO juga dapat menyebabkan peningkatan musuh abadi jurnalisme, “clickbait.”
“Kalau kita mau melihat secara positif, mungkin ini (SEO-based journalism) adalah jurnalisme yang baru dan berkembang, mau kita suka atau tidak. Sisi negatifnya, mungkin jurnalisme sudah mati. Karena jurnalisme ‘asli’ sudah tergantikan dengan tren media online,” ucap Camelia.
Apa yang bisa dilakukan?
Camelia mengatakan bahwa SEO itu seperti nuklir; dapat digunakan untuk hal baik dan buruk. Dia berbagi beberapa hal yang bisa dilakukan oleh media massa untuk menerapkan SEO secara etis. “Pastikan ada garis pemisah antara jurnalis dan penulis SEO. Berita tetap harus mengutamakan nilai berita, bukan kata kunci,” tegasnya. Meningkatkan traffic situs dengan SEO tidak masalah, tetapi itu tidak berarti mengabaikan praktik jurnalistik tradisional.
Untuk mengembalikan semangat, meski saat ini muncul banyak konten yang “tidak berguna”, jurnalisme long-form, mendalam, dan berkualitas tinggi tetap diapresiasi. Camelia mencontohkan satu artikel dari ProPublica berjudul “The Deadly Choices at Memorial”. “Memorial Medical Center” bukanlah kata kunci yang populer, tetapi kata kunci itu naik peringkat di Google karena masalah ini menarik perhatian banyak orang.
Ketika media massa mainstream memproduksi artikel pendek dan berdasarkan kata kunci, banyak media alternatif memberikan liputan berkualitas tinggi seperti “Proyek Multatuli”, yang mendapatkan banyak popularitas dan perhatian, terutama di kalangan anak muda Indonesia. Untuk menjaga jurnalisme berkualitas tinggi tetap hidup, semua orang harus mendukung jurnalisme yang berkualitas. Publik juga harus dididik dan didorong untuk mau membayar untuk berita, mendukung media massa dalam menghasilkan liputan berkualitas tinggi.
Kesimpulannya, media massa harus menggunakan SEO dengan benar untuk mencegah kejatuhan jurnalisme dan menggunakan SEO untuk meningkatkan dan mendukung praktik jurnalistik yang ada.
*by Levina Chrestella Theodora | UMN News Service
Kuliah di Jakarta untuk jurusan program studi Informatika| Sistem Informasi | Teknik Komputer | Teknik Elektro | Teknik Fisika | Akuntansi | Manajemen| Komunikasi Strategis | Jurnalistik | Desain Komunikasi Visual | Film dan Animasi | Arsitektur | D3 Perhotelan , di Universitas Multimedia Nusantara. www.umn.ac.id